Selasa, 10 April 2001

Perlindungan Anak Dibawah Umur (PR&Publicity)

Perlindungan Anak Dibawah Umur
Timang – timang anakku saying jangan menangis bunda disini, berikut tadi adalah penggalan dari lagu Bunda yang menceritakan kasih saying seorang bunda terhadap anaknya. Sungguh ironis hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaan adanya eksploitasi dan kekerasan terhadap anak – anak bawah umur di Indonesia.
Anak – anak adalah penerus bangsa, pemimpin masa depan. Tidak cukup kita membicarakan masalah pendapatan Negara, kesejahteraan bangsa, kemakmuran bangsa tanpa adanya kesinambungan hidup pada anak – anak bangsa. Dimulai dari keluarga cikal bakal kehidupan berlangsung, bagaimana orang tua mendidik membesarkan anak – anak mereka dengan pembekalan hidup yang cukup sehingga anak – anak tersebut dapat melanjutkan kehidupannya kelak di masa yang akan datang dengan baik dan masa depan bangsa ini pun menjadi terjamin dan tidak bobrok.
Namun keadaan kehidupan yang sejahtera banyak tidak didapatkan pada sebagian anak-anak di Indonesia, kurang beruntungnya keadaan ekonomi dan kesejahteraan orang tua membuat keadaan memaksa anak-anak terjerumus kepada lembah hitam yang tak berujung. Haluan materialism dan kenaifan membuat wajah muram di raut muka anak-anak yang tidak beruntung itu. Keserakahan dan kelalaian orang – orang dewasa dengan memanfaatkan kelemahan anak-anak yang masih tak berdaya demi materialism lama kelamaan akan membuat generasi muda ini lambat laun menjadi punah. Lalu apa kita akan berdiam diri saja? Tentu tidak karena kalau bukan kita yang memperhatikan anak-anak bangsa ini, siapa lagi?
Berikut data yang menggambarkan muramnya wajah anak Indonesia. Atas dasar hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) kondisi kesehatan dan gizi adalah ; Angka kematian bayi tahun 2002/2003 sebesar 35/1000 atau terdapat 35 bayi yang meninggal diantara 1000 bayi yang dilahirkan atau berarti setiap hari ada 430 kematian bayi di Indonesia. Kematian balita sebesar 46/1000 atau setiap hari ada 566 kematian balita. Status gizi pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat. Sektor pendidikan ; Angka partisipasi sekolah tahun 2004 untuk anak usia 13-15 tahun sebesar 83,4% sedangkan unutk anak usia 16-18 tahun sebesar 53,4%. Angka putus sekolah tahun 2005/2006 menunjukkan sebesar 2,96% untuk SD/MI dan 1,6% untuk SMP/MTS.
Perlindungan terhadap anak juga memprihatinkan ; Anak tanpa akte kelahiran, berdasarkan hasil Susenas 2001 angkanya mencapai 60% atau anak yang sudah memiliki akte kelahiran baru mencapai 40%. Anak korban kekerasan dan perlakuan salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 326 kasus. Anak jalanan diperkirakan secara nasional mencapai 60.000-75.000 dan menurut Departemen Sosial 60% diantaranya putus sekolah. Anak yang berkonflik dengan hukum, setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun.
Terakhir adalah adanya pembajakan anak – anak di bawah umur. Berdasarkan data yang di temukan Gugus Tugas Antitrafiking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan ada 500 anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia. Di perbatasan Indonesia-Malaysia pada tahun 2003 harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai RM 18.000- 25.000 sedangkan untuk orok bermata bundar dan kulit gelap dihargai 10.000-15.000.
Motif eksploitasi seksual juga paling banyak menimbulkan korban pada anak-anak dibawah umur yang dijadikan menjadi pelacur maupun bentuk eksploitasi lainnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 30% dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia tahun 2004 adalah anak di bawah 18 tahun. Hal ini belum termasuk angka perempuan anak Indonesia yang menjadi pelacur di luar negeri. Bahkan Kementrian Negara Permberdayaan Perempuan memperkirakan tidak kurang dari 30.000 perempuan anak Indonesia menjalani seks komersial di luar negeri. Data tersebut belum tentu akurat bahkan bias lebih dari angka tersebut yang terjadi di lapangan karena banyaknya korban pelacuran tidak memiliki data identitas yang jelas.
Fakta yang telah disebutkan di atas sungguh mengerikan bagi kita. Lantas bagaimana pemerintah menyikapinya?. Dengan adanya Undang Undan Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan merujuk pada Konvensi Hak Hak Anak yang disahkan PBB 20 November 1989 dan di Ratifikasi Indonesia SK Presiden No. 36 Tahun 1990 belum mencukupi untuk menjerat para pelaku kejahatan dan member perlindungan terhadap anak – anak Indonesia.
Bagaimana caranya agar keprihatinan ini berangsur-angsur dapat berkurang? Kita sebagai generasi muda bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga pemerhati anak membantu dan memberi perhatian yang lebih pada kasus kasus perlindungan anak. Banyak cara yang dapat dilakukan mulai dari hal – hal terkecil antara lain member penyuluhan mengenai pentingnya kesehatan anak –anak khususnya di usia bayi dan balita bagi orang tua di berbagai daerah terpencil, pendidikan anak, kegiatan positfi bagi anak – anak. Bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati perlindungan anak untuk terus giat membantu kasus-kasus child trafficking, child abuse, pelacuran anak-anak baik itu di luar negeri maupun di dalam negeri. Berikutnya adalah memberi masukan kepada pemerintah agar segera dirumuskan undang undang perangkat hukum yang tepat bagi kejahatan pornografi anak yang lebih spesifik dengan tujuan untuk melindungi anak. Karena perangkat hukum perlindungan anak yang ada sudah tidak relevan untuk dipakai sebagai paying hukum yang tepat disbanding akibat yang terjadi baik terhadap kerusakan mental dan psikis yang dialami anak – anak korban yang dapat menghancurkan masa depan. Tentunya dalam hal mencegah penjualan anak- anak di luar negeri tentu butuh adanya kerjasama dengan pihak luar negeri, misalnya WANGO (World Association of NGO), IFCW (International Forum for Child Welfare) dan CWA (Child Workers in Asia) selain itu tentu bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia seperti Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), FKPPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia) dan JARAK(Jaringan Pekerja Anak) dan sebagainya. Sehingga dengan adanya kerjasama baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri tentunya kerjasama dengan pemerintah dan bangsa – bangsa lain baik bilateral, regional bahkan internasional semoga wajah muram anak-anak Indonesia dapat hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar